Puisi-puisi Baequni M Haririe
| Jodhi Yudono | Rabu, 14 Desember 2011 | 23:56 WIB
yukez.wordpress.com
ilustrasi
HARI JUM’AT
Jum’at
Maksiat dan munajat
Bersekat-sekat
Barangkali setipis selaput dara
Segala dosa dan doa
Membungkus jua
Jum’at
Malam dan siang
Bergantian
Barangkali soal waktu
Segalanya diburu
Terbungkus nafsu
Jum’at
Lelaki dan perempuan
Berkelamin
Barangkali soal keintiman
Menjadi halal dan haram
Dibungkus berkelanjutan
Membungkusi nikmat
Atas curahan jum’at
Cirebon, 27052010
DI TELAGA REMIS
Desahmu begitu nyaring sewaktu di Telaga
Nafasmu dingin, datang bersama angin
Entahlah, bila semua itu kau tujukan padaku
Aku tak tahu, tiba-tiba saja seperti ada yang meronta
Berusaha terlepas dari keangkuhan batu-batu tua
Rupanya dirimu yang bersemayam di sana
Berapa waktu dan berapa tamu menjadi tak perlu
Karena yang kau tunggu sepertinya diriku
Seingatku, aku sama sekali tak membakar dupa
Atau membaca mantra dulu untuk datang ke Telaga
Aku menyambangi tempat itu untuk mengenang
Dimana hasratku waktu dulu begitu menyatu
Dengan semua jenis daun dan bebatuan di situ
Suaramu tak teratur ketika menyambutku
Gemericik air menggemakan sendiri suaranya
Percik air yang menyentuhku pun begitu mesra
Mengalahkan rindu yang kau muliakan layaknya dewa
Kini, Telaga itu kembali pasrah
Seperti semula, semuanya menjadi kasat mata
Batu, daun, titik air dan kesejukan
Saling menyapa bergantian
Cirebon, 2010
_____Telaga Remis: sebuah objek wisata yang terletak di Desa Kaduela, Kecamatan Pasawahan, Kabupaten Kuningan Jawa Barat. Jaraknya kurang lebih 37 km ke arah utara dari kota Kuningan dan kurang lebih 13 km kea rah selatan dari kota Cirebon. Terletak lebih 20 km dari kota Cirebon ke arah Majalengka, telaga ini tersembunyi di antara rerimbunan pohon pinus dan bebatuan cadas. Telaga yang asri dan sejuk ini belum tersentuh pengelolaan yang baik.
KESUCIAN
Kerut di lehermu
Seolah memberitahu
Betapa kehangatan
Dapat diterjemahkan
Rekah bibirmu
Pun memberitahuku
Betapa kerinduan
Dapat dilumatkan
Tidak pada matamu
Yang enggan terbuka
Justru dengan terpejam; katamu
Adalah tanda ketulusan dan kenikmatan
Tidak semata-mata
Musabab waktu yang lama
Dapat merubah ritme desah
Kadang sayup
Kadang samar
Kadang lirih
Kemudian diam
Dan terekam sepanjang malam
Tidak, bukan itu; katamu
Kesucian yang kau inginkan
Cirebon, 2010
KEPADA SIAPA AKU BERTANYA
Bertahun-tahun kita merayakan
Berulang-ulang meritualkan panjat pinang
Berkibar-kibar merah-putih kembali terpasang
Dimana-mana kita lantunkan Tujuh Belasan
Kawan,
Sebenarnya kita sedang memerdekakan apa?
Cirebon, 17082010
KARENA SENYUM
Ingin kudekati dirimu
Saat dimana kau sedang tertidur
Dengan wajah yang tulus
Dan separuh jiwamu terbang
Entah kemana
Bertemu dengan siapa
Atau sedang mengelana
Jauh ke segala arah
Ingin kudekap hatimu
Saat dimana kau sedang tertidur
Dengan detak jantung yang teratur
Dan separuh nafasmu memanduku
Untuk menunggu
Entah di mana
Di bahu atau di dadamu
Hingga sebelum fajar
Aku dibangunkan oleh senyum
Dari sisa bibirmu yang ranum
Cirebon, 23092010
DZIKIR KOPI
Hitam adalah nyawamu
Air panas lalu gelas
Menyetubuhimu senafas demi senafas
Pada keikhlasanmu, tuan dan permaisuri
Ia menyeduh banyak arti
Kental, pahit, manis dan pekat
Layaknya fase rapalan tirakat
Sendiri, berdua atau bersama-sama
Hitam, coklat atau bercampur susu
Dzikirnya tetaplah syahdu dan khusyu’
Sesekali, nyawamu menghangatkan tembakau
Yang dihembuskan mesra dingin danau
Atau ia dilepaskan di puncak gunung
Atau di gubuk sawah atau di pojok kampung
Atau di tengah hiruk-pikuk kota
Bahkan di ranah yang lebih hitam
Pagi, siang, sore maupun malam
Kemarau, cerah atau saat hujan
Nyawamu selalu bergentayangan
Kopi, dalam mantra jiwa
Dikutuk hanya bagi pecinta
Cirebon, 29092010
JUDUL MENYUSUL
Berjanjilah nanti di depan kuburku, sebagai perempuan tangguh. Menjadi seorang bunda dari cakrawala cinta. Deru angin sesungguhnya tak sengaja melepaskan gemuruh batin atau mengirimkan wangi kelabu kepadamu. Itu hanya tanda, betapa kesempurnaan adalah Tuhan. Bersaksilah nanti di depan kuburku, bahwa namaku dari ketidaksengajaan dan kini pantas untuk dibenamkan. Kau menunggu pelangi, dan aku mati.
Cirebon, 19102011
JALAN PEMUDA
Kopi hitam ini pahit, padahal telah kuaduk dengan manis senyummu. Di tepian jalan, aku tak bisa membedakan lagi; mana asap rokok dan asap dari kebisingan itu. Penjaga Cafe memotong daun, menyiramkan air, merawat tetumbuhan agar terus berdzikir. Aku masih di sini. Mencairkan hiruk-pikuk jalanan yang padat. Terik mentari kian menyilaukan, kursi dan meja begitu kaku memamerkan lapisan debu. Kau tahu, aku masih di sini. Di sebelah ada yang berulang tahun, entah yang keberapa, tubuhnya basah. Tapi ia sumringah ditasbihkan teman-temannya sebagai lelaki paling bahagia. Setidak-tidaknya untuk hari ini, semoga sampai akhir hayatnya. Dengarlah, aku masih di sini. Merekam segala harapan dan penantian. Pisang goreng tinggal satu, sendok dan garpu seolah buntu, tak bisa lagi menghidupkan rindu. Perlahan-lahan langit mulai menua. Aku, masih terus menantang senja. Segelintir karyawan curiga, seperti menyimpan gelisah yang sama. Maka, aku pergi dari sini, mengikuti angin barat yang katanya sedang sekarat. Tuhan, aku tinggalkan kopi hitam untukMu.
--------
Baequni M Haririe, lahir di Cirebon, 19 Juli 1975. Senang menulis puisi, cerpen dan novel serta melukis. Sampai saat ini aktif di Komunitas Seniman Santri (KSS).
Jum’at
Maksiat dan munajat
Bersekat-sekat
Barangkali setipis selaput dara
Segala dosa dan doa
Membungkus jua
Jum’at
Malam dan siang
Bergantian
Barangkali soal waktu
Segalanya diburu
Terbungkus nafsu
Jum’at
Lelaki dan perempuan
Berkelamin
Barangkali soal keintiman
Menjadi halal dan haram
Dibungkus berkelanjutan
Membungkusi nikmat
Atas curahan jum’at
Cirebon, 27052010
DI TELAGA REMIS
Desahmu begitu nyaring sewaktu di Telaga
Nafasmu dingin, datang bersama angin
Entahlah, bila semua itu kau tujukan padaku
Aku tak tahu, tiba-tiba saja seperti ada yang meronta
Berusaha terlepas dari keangkuhan batu-batu tua
Rupanya dirimu yang bersemayam di sana
Berapa waktu dan berapa tamu menjadi tak perlu
Karena yang kau tunggu sepertinya diriku
Seingatku, aku sama sekali tak membakar dupa
Atau membaca mantra dulu untuk datang ke Telaga
Aku menyambangi tempat itu untuk mengenang
Dimana hasratku waktu dulu begitu menyatu
Dengan semua jenis daun dan bebatuan di situ
Suaramu tak teratur ketika menyambutku
Gemericik air menggemakan sendiri suaranya
Percik air yang menyentuhku pun begitu mesra
Mengalahkan rindu yang kau muliakan layaknya dewa
Kini, Telaga itu kembali pasrah
Seperti semula, semuanya menjadi kasat mata
Batu, daun, titik air dan kesejukan
Saling menyapa bergantian
Cirebon, 2010
_____Telaga Remis: sebuah objek wisata yang terletak di Desa Kaduela, Kecamatan Pasawahan, Kabupaten Kuningan Jawa Barat. Jaraknya kurang lebih 37 km ke arah utara dari kota Kuningan dan kurang lebih 13 km kea rah selatan dari kota Cirebon. Terletak lebih 20 km dari kota Cirebon ke arah Majalengka, telaga ini tersembunyi di antara rerimbunan pohon pinus dan bebatuan cadas. Telaga yang asri dan sejuk ini belum tersentuh pengelolaan yang baik.
KESUCIAN
Kerut di lehermu
Seolah memberitahu
Betapa kehangatan
Dapat diterjemahkan
Rekah bibirmu
Pun memberitahuku
Betapa kerinduan
Dapat dilumatkan
Tidak pada matamu
Yang enggan terbuka
Justru dengan terpejam; katamu
Adalah tanda ketulusan dan kenikmatan
Tidak semata-mata
Musabab waktu yang lama
Dapat merubah ritme desah
Kadang sayup
Kadang samar
Kadang lirih
Kemudian diam
Dan terekam sepanjang malam
Tidak, bukan itu; katamu
Kesucian yang kau inginkan
Cirebon, 2010
KEPADA SIAPA AKU BERTANYA
Bertahun-tahun kita merayakan
Berulang-ulang meritualkan panjat pinang
Berkibar-kibar merah-putih kembali terpasang
Dimana-mana kita lantunkan Tujuh Belasan
Kawan,
Sebenarnya kita sedang memerdekakan apa?
Cirebon, 17082010
KARENA SENYUM
Ingin kudekati dirimu
Saat dimana kau sedang tertidur
Dengan wajah yang tulus
Dan separuh jiwamu terbang
Entah kemana
Bertemu dengan siapa
Atau sedang mengelana
Jauh ke segala arah
Ingin kudekap hatimu
Saat dimana kau sedang tertidur
Dengan detak jantung yang teratur
Dan separuh nafasmu memanduku
Untuk menunggu
Entah di mana
Di bahu atau di dadamu
Hingga sebelum fajar
Aku dibangunkan oleh senyum
Dari sisa bibirmu yang ranum
Cirebon, 23092010
DZIKIR KOPI
Hitam adalah nyawamu
Air panas lalu gelas
Menyetubuhimu senafas demi senafas
Pada keikhlasanmu, tuan dan permaisuri
Ia menyeduh banyak arti
Kental, pahit, manis dan pekat
Layaknya fase rapalan tirakat
Sendiri, berdua atau bersama-sama
Hitam, coklat atau bercampur susu
Dzikirnya tetaplah syahdu dan khusyu’
Sesekali, nyawamu menghangatkan tembakau
Yang dihembuskan mesra dingin danau
Atau ia dilepaskan di puncak gunung
Atau di gubuk sawah atau di pojok kampung
Atau di tengah hiruk-pikuk kota
Bahkan di ranah yang lebih hitam
Pagi, siang, sore maupun malam
Kemarau, cerah atau saat hujan
Nyawamu selalu bergentayangan
Kopi, dalam mantra jiwa
Dikutuk hanya bagi pecinta
Cirebon, 29092010
JUDUL MENYUSUL
Berjanjilah nanti di depan kuburku, sebagai perempuan tangguh. Menjadi seorang bunda dari cakrawala cinta. Deru angin sesungguhnya tak sengaja melepaskan gemuruh batin atau mengirimkan wangi kelabu kepadamu. Itu hanya tanda, betapa kesempurnaan adalah Tuhan. Bersaksilah nanti di depan kuburku, bahwa namaku dari ketidaksengajaan dan kini pantas untuk dibenamkan. Kau menunggu pelangi, dan aku mati.
Cirebon, 19102011
JALAN PEMUDA
Kopi hitam ini pahit, padahal telah kuaduk dengan manis senyummu. Di tepian jalan, aku tak bisa membedakan lagi; mana asap rokok dan asap dari kebisingan itu. Penjaga Cafe memotong daun, menyiramkan air, merawat tetumbuhan agar terus berdzikir. Aku masih di sini. Mencairkan hiruk-pikuk jalanan yang padat. Terik mentari kian menyilaukan, kursi dan meja begitu kaku memamerkan lapisan debu. Kau tahu, aku masih di sini. Di sebelah ada yang berulang tahun, entah yang keberapa, tubuhnya basah. Tapi ia sumringah ditasbihkan teman-temannya sebagai lelaki paling bahagia. Setidak-tidaknya untuk hari ini, semoga sampai akhir hayatnya. Dengarlah, aku masih di sini. Merekam segala harapan dan penantian. Pisang goreng tinggal satu, sendok dan garpu seolah buntu, tak bisa lagi menghidupkan rindu. Perlahan-lahan langit mulai menua. Aku, masih terus menantang senja. Segelintir karyawan curiga, seperti menyimpan gelisah yang sama. Maka, aku pergi dari sini, mengikuti angin barat yang katanya sedang sekarat. Tuhan, aku tinggalkan kopi hitam untukMu.
--------
Baequni M Haririe, lahir di Cirebon, 19 Juli 1975. Senang menulis puisi, cerpen dan novel serta melukis. Sampai saat ini aktif di Komunitas Seniman Santri (KSS).
<p>Your browser does not support iframes.</p>
Ada - Komentar Untuk Artikel Ini.
Kirim Komentar Anda
Pembaca dapat mengirimkan komentar terkait artikel yang ditayangkan. Isi komentar bukan merupakan pandangan, pendapat ataupun kebijakan KOMPAS.com dan sepenuhnya menjadi tanggung jawab pengirim.
Pembaca dapat melaporkan komentar jika dianggap tidak etis, kasar, berisi fitnah, atau berbau SARA. KOMPAS.com akan menimbang setiap laporan yang masuk dan dapat memutuskan untuk tetap menayangkan atau menghapus komentar tersebut.
KOMPAS.com berhak untuk memberi peringatan dan atau menutup akses bagi pembaca yang melanggar ketentuan ini.
Pembaca dapat melaporkan komentar jika dianggap tidak etis, kasar, berisi fitnah, atau berbau SARA. KOMPAS.com akan menimbang setiap laporan yang masuk dan dapat memutuskan untuk tetap menayangkan atau menghapus komentar tersebut.
KOMPAS.com berhak untuk memberi peringatan dan atau menutup akses bagi pembaca yang melanggar ketentuan ini.
<a href='http://ads3.kompasads.com/new/www/delivery/ck.php?n=adeec33a&amp;cb=INSERT_RANDOM_NUMBER_HERE' target='_blank'><img src='http://ads3.kompasads.com/new/www/delivery/avw.php?zoneid=155&amp;cb=INSERT_RANDOM_NUMBER_HERE&amp;n=adeec33a' border='0' alt='' /></a>
<a href='http://ads3.kompasads.com/new/www/delivery/ck.php?n=a3039df4&amp;cb=INSERT_RANDOM_NUMBER_HERE' target='_blank'><img src='http://ads3.kompasads.com/new/www/delivery/avw.php?zoneid=157&amp;cb=INSERT_RANDOM_NUMBER_HERE&amp;n=a3039df4' border='0' alt='' /></a>
Tidak ada komentar:
Posting Komentar