Empat Ekosistemnya Tersebar di Empat Kabupaten
Ekosistem di Taman Nasional Rawa Aopa Watumohai (TNRAW) mengalami degradasi. Penurunan populasi dan meningkatnya aksebilitas masyarakat di areal yang seharusnya terlarang itu, makin mengancam eksistensinya. Apa saja yang masih bertahan di areal seluas 105,194 hektar itu saat ini?
Mungkin saat menjejakkan kaki di TNRAW, banyak yang tidak sadar tengah berada di daerah perlindungan. Memang, selain pintu gerbang dan kantor balai, hampir tidak dijumpai lagi di daerah terbuka sebuah penanda bahwa daerah tersebut merupakan taman nasional. Karenanya tidak heran, banyak warga yang masih asing dengan TNRAW.
Bahkan masih banyak masyarakat yang salah mengartikan ketika ditanya arah TNRAW. Beberapa masyarakat di kecamatan Andoolo misalnya, ketika ditanya, banyak yang menunjuk ke arah kecamatan Motaha, padahal seharusnya TNRAW terletak di Kecamatan Tinanggea.
Mereka menganggap TNRAW sebagai Rawa Aopa, salah satu ekosistem TNRAW yang bernama Rawa Aopa dan terletak di kecamatan Motaha. Masyarakat masih mengenal TNRAW sebagai PPA (pengembangan dan perlindungan alam). Memang sebelumnya, daerah tersebut dikelola oleh PPA yang sekarang berubah menjadi Badan koordinasi Sumber daya alam (BKSDA).
Sungguh aneh, sepertinya masyarakat masih belum pernah mengenalnya. Padahal salah satu ruas jalan yang menghubungkan antara Konawe Selatan dengan Bombana membelah areal TNRAW. Tepatnya sejak memasuki pintu gerbang dari arah Konsel hingga 24 Km sesudahnya di kecamatan Lantari Jaya Bombana. Areal tersebut merupakan savannah (padang rumput luas) yang merupakan salah satu dari empat ekositem yang dimiliki TNRAW.
Ekosistem savannah itu membentang dari batas akhir zonasi hutan bakau di sisi timur TNRAW hingga gunung Watumohai dan Mendoke yang terletak di sisi barat. Savannah yang didominasi alang-alang, serta pohon Longgida, Agel, Lontar dan Tipulu itu membentang seperti karpet hijau seluas 22.964 hektar.
Ekosistem savannah merupakan bagian dari Taman Buru (TB) Watumohai. Berdasarkan SK Menteri Kehutanan No.444/Kpts-II/1989, TB Watumohai digabung bersama suaka margasatwa Rawa Aopa menjadi TNRAW. Sebelum penggabungan tersebut, pada tahun 1976 Watumohai dijadikan TB berdasarkan SK Menteri Pertanian No.648/Kpts/um/10/976 dengan luas 50.000 hektar.
Menurut Koordinator Pengendali Ekosistem Hutan TNRAW Dwi Putro Sugiarto, ada dua faktor penting yang menjadi pertimbangan areal gunung Watumohai ditetapkan sebagai daerah wisata berburu. "Pertama, pembinaan secara khusus olah raga berburu, rekreasi dan pariwisata. Kedua, keadaan populasi vegetasi dan kondisi hutan di sekitar gunung Watumohai memenuhi syarat untuk dilaksanakan perburuan," ujarnya.
Sudah puluhan tahun ekosistem savannah tumbuh di TNRAW, tapi sekian lama pula daerah tersebut tidak berkembang. Dominasi alang-alang seperti menghambat pertumbuhan jenis tumbuhan lain. Jika diperhatikan dengan seksama, memang hanya di daerah pinggiran aliran sungai saja yang keanekaragaman tumbuhannya tinggi, sedangkan di daerah terbuka hanya terdapat beberapa pohon Agel dan Longgida. Hal itu membuat pemerintah sempat mengajukan perubahan fungsi savannah pada tahun 2009 karena dianggap tidak produktif lagi.
Tapi menurut Sugi (panggilan akrab Dwi Putro Sugiarto) tingginya dominansi savannah bukan menandakan daerah tersebut tidak produktif. Seharusnya ungkap Sugi, ekosistem savannah memang seperti itu, tidak tumbuh lebih tinggi lagi dan tidak bisa ditumbuhi tumbuhan lainnya. "Itu sudah maksimal. Kalau datang 10 tahun lagi, padang savannahnya tetap begitu, tidak akan bertambah lagi," jelasnya.
Ekosistem savannah yang dulunya hanya satu kawasan, kini sudah terbelah dua secara permanen dengan dibukanya jalan trans Konsel-Bombana. Bisa jadi kondisi itu mengancam kelangsungannya. Padahal savannah masih menyimpan bermacam keunikan kawasan. Misalnya saja, menjadi hunian satwa langka prioritas nasional seperti maleo, kakatua jambul kuning dan anoa dataran rendah.
Savannah juga jadi tempat mencari makan rusa. Sedangkan di savannah Lanowulu dan Langkowala menjadi tempat jelajah utama monyet hitam khas Sulawesi Tenggara atau yang bernama latin Macaca ochreata. Beberapa jenis elang dilindungi khas Sulawesi juga hidup pada ekosistem ini, salah satu diantaranya elang Sulawesi. Selain itu, savannah jadi penyanggah yang menahan laju erosi dan endapan lumpur pada muara ekosistem mangrove.
"Rencana tersebut juga mengancam satwa-satwa langka yang hidup atau memiliki daerah jelajah di savannah. Selain itu, perambahan savana juga terjadi untuk tempat tinggal penduduk di Lampopala, Langkadue dan Lapa Laea, memang saat ini sebagian sudah keluar, sedang di Pada Laea semuanya sudah keluar," ungkap Sugi.
Ironis jika sampai pemerintah serius mengusul perubahan fungsi savannah. Usulan tersebut akan mengancam kehidupan nelayan yang memanfaatkan mangrove. Sebabnya savannah merupakan hulu sungai yang bermuara di laut yang melintasi ekosistem mangrove. Padahal jumlah masyarakat yang mendiami ekosistem mangrove lumayan banyak dan hanya menggantungkan hidup sebagai nelayan tradisional dengan menangkap udang serta kepiting bakau dan rajungan.
Ekosistem mangrove terletak di bagian selatan kawasan, membentang dari barat ke timur sepanjang 24 km dengan luas 6.173 hektar. Kelimpahannya juga sangat tinggi. Dalam kawasan tersebut, sedikitnya terdapat 27 jenis tumbuhan, yang didominasi Rhizophora mucronata, Avicennia alba dan Bruguiera gymnorrhyza.
Areal mangrove juga menyimpan beragam kekayaan satwa seperti buaya, anoa, babi hutan, berbagai jenis ikan, udang, kepiting bakau, Burung pecuk ular, Wilwo dan Bangau.
Satu kesyukuran kata Sugi, ekosistem mangrove TNRAW, tergolong masih utuh dan bagus dibandingkan kondisi hutan mangrove lain di Sulawesi. Ketebalan hutan mangrove dari titik terdalam sampai pantai mencapai 7 km. Di situ, dapat dijumpai banyak pohon mangrove berdiameter satu sampai dua meter. Selain itu, mangrove juga menjadi habitat anoa dataran renah yang merupakan ikon Sultra. Satwa ini tergolong langka dan menjadi satwa prioritas nasional untuk dilindungi.
Sugi menjelaskan, ada empat ekosistem yang menjadi pertimbangan pemerintah pusat meningkatkan status Rawa Aopa dan Watumohai menjadi TNRAW. Keempatnya adalah ekosistem savannah, mangrove, rawa dan pegunungan dataran rendah. Istimewanya, TNRAW betul-betul menggambarkan Sultra. Selain menjadi habitat anoa dataran rendah yang menjadi simbol Sultra, juga tersebar di empat Kabupaten yakni Konawe Selatan, Bombana, Kolaka dan Konawe.
Ekosistem rawa menempati urutan ketiga dari sisi luas wilayah. Ekosistem ini terbagi meliputi Rawa Aopa seluas 12.000 hektar dan Rawa Lere di bagian tengah kawasan seluas 600 hektar. Rawa di TNRAW merupakan daerah depresi yang terletak di antara Pegunungan Mendoke, Motaha dan Makaleleo. Kondisinya selalu tergenang sepanjang tahun, karena menjadi muara beberapa sungai yang ada, sebelum mengalir ke Sungai Konaweeha di bagian utara dan Sungai Roraya di bagian selatan kawasan.
Diantara ekosistem lainnya, sebenarnya ekosistem inilah yang memiliki nilai tertingi karena merupakan perwakilan rawa gambut sulawesi. Bahkan terang Sugi, saat ini Rawa Aopa sedang dalam proses pengusulan pemerintah Indonesia untuk menjadi situs perlindungan lahan basah internasional melalui Konvensi Ramsar.
"Rawa Aopa menjadi tempat hidup berbagai jenis burung air dan satwa migran langka seperti burung wilwo. Tempat mencari makan masyarakat sekitar Rawa Aopa di Kecamatan Puriala dan Angata, dan yang terpenting sebagai salah satu daerah tangkapan air yang memasok DAS (aerah aliran sungai) Sampara yang menjadi sumber air PDAM Kota Kendari.
Berdasarkan tipenya, Rawa Aopa sebagian besar digolongkan sebagai non-forested peat swamp, atau rawa gambut yang tidak berpohon, tetapi tidak terbuka seluruhnya karena tertutup oleh vegetasi rumput totole pada wilayah tertentu. Jenis tumbuhan lainnya yang terdapat dalam jumlah besar adalah teratai merah, totole, Uti, Holea, Wewu dan Sagu.
Meski mendapat apresiasi dari pemerintah pusat, tapi daerah tersebut terus mendapat tekanan dari lingkungan sekitarnya. beberapa tahun belakangan ini, terjadi penurunan debit air di musim kemarau. TNRAW melihat salah satu penyebabnya karena makin maraknya illegal logging di daerah hulu. "Bahkan saat ini terjadi penurunan populasi burung air yang dilindungi. Tapi kita tetap melakukan patroli hutan, penyuluhan di desa sekitar, mendirikan papan informasi serta melakukan penelitian," jelasnya.
Ekosistem terakhir dan terluas di TNRAW adalah ekosistem hutan pegunungan dataran rendah. Ekosistem ini terdapat mulai kawasan datar hingga daerah bergunung dengan tipe vegetasi yang sangat beragam. Tepatnya berada antara Rawa Aopa hingga ke gunung Makaleleo di bagian utara, serta sekitar Pegunungan Mendoke, Gunung Watumohai hingga ke bagian kakinya. Selain itu tipe ekosistem ini terdapat pula di sepanjang alur-alur sungai di tengah savannah.
Sayangnya ekosistem seluas 64.569 hektar ini terancam degradasi paling tinggi. Hal itu ditandai dengan banyaknya pembalakan liar di lokasi-lokasi yang berbatasan dengan pemukiman masyarakat seperti di SP 1 Kecamatan Lalembuu, Lambandia dan Kecamatan Puriala. Kondisi tersebut diperparah dengan perambahan untuk perkebunan coklat di Lambandia dan Ladongi.
Padahal sebagaimana hutan tropis pada umumnya, hutan dataran rendah di TNRAW juga banyak ditumbuhi jenis rotan, liana, perdu dan herba. Bahkan areal ini juga menyimpan kayu-kayu incaran utama perambah seperti Kalaero, Kulipapo, Bitti, Kayu Nona, kayu Bayam dan Kalapi.(*)
Sampai sekitar tahun 1996, masih banyak pengendara yang berhati-hati ketika akan melintasi savannah di TNRAW. Bukan karena daerah tersebut membentang luas tanpa perumahan dan terkesan angker, tapi masih banyak rusa yang tiba-tiba menyeberang jalan sehingga seringkali tertabrak. Bayangkan, setidaknya dalam sehari dua sampai tiga ekor rusa mati karena tertabrak.
Di savannah seluas 22.964 hektar tersebut memang merupakan habitat alami bagi lebih dari 13 ribu ekor rusa. Alang-alang muda dan akarnya merupakan makanan favorit hewan bernama latin Cervus timorensis tersebut. Ekosistem savannah yang kompleks karena didukung beberapa aliran sungai sebagai tempat minum semakin memanjakan gerombolan rusa.
Kondisi tersebut bukan sekedar fakta kosong belaka karena diceritakan oleh La Sifu, salah seorang polisi hutan TNRAW yang sudah bertugas sejak 1984. Dengan antusias tinggi ia menggambarkan saking banyaknya populasi rusa yang merumput, masyarakat dengan mudahnya bisa melihat mereka dari jarak jauh. Banyaknya rusa yang tertabrak oleh kendaraan bermotor kata Sifu karena banyak rusa yang menyeberang jalan ke arah ekosistem mangrove untuk meminum air garam.
"Jonga memang suka menggaram (meminum air garam, red), jadi mereka sering menyeberang dari sini ke sana (sambil menunjuk arah savannah sisi barat ke savannah sisi timur yang berbatasan dengan ekosistem mangrove)," ujarnya.
Sebenarnya kebiasaan menggaram rusa juga memiliki resiko mematikan. Buaya muara yang hidup di ekosistem mangrove menjadikan kebiasaan menggaram rusa sebagai kesempatan untuk memangsa mereka. Bersama ular besar seperti pithon, buaya merupakan pemangsa alami rusa. Dalam rantai makanan, tugas buaya dan ular adalah menjaga populasi rusa agar tidak berlebihan.
Sayangnya, sejak tahun 1997, populasi rusa menurun drastis dari padang savannah. Jika sebelumnya sensus TNRAW ditahun 1995 menyebutkan populasi rusa lebih dari 13 ribu ekor atau sekitar 56 ekor per 100 hektar savannah, hasil sensus berikutnya di tahun 2008 menunjukkan populasi rusa menurun hingga 1.664 ekor. Itu berarti dalam 100 hektar kawasan savannah hanya dihuni sekitar tujuh ekor rusa.
Namun bukan karena tertabrak kendaraan bermotor atau dimangsa buaya dan ular penyebab hilangnya populasi rusa dari savannah. La Sifu mengatakan perburuan massal secara berkelompok oleh masyarakat jadi penyebab utama menurunnya populasi rusa. Bagaimana tidak, tiap malam sedikitnya 30 sampai 40 motor hilir mudik dipakai berburu rusa di TNRAW secara berkelompok.
"Tiap motor kan orangnya berboncengan, jadi sekitar 80 orang tiap malam berburu jonga," ungkap Sifu.
Saking tingginya populasinya di savannah TNRAW, pemburu rusa tidak kesulitan untuk mencari mereka. Apalagi pada saat itu rusa belum memiliki trauma dengan kebisingan. Sehingga selain mengunakan motor, perburuan rusa dilakukan hanya dengan bermodal senter dan parang. Penggunaan senter tersebut merupakan intrik pemburu untuk menaklukkan rusa yang cenderung tenang dan diam ketika matanya dikena cahaya terang dari senter. "Jadi rusa itu tinggal digiring saja pakai motor lalu ditebas," bebernya.
Perburuan tersebut semakin menggila sekitar tahun 2000. Bahkan motif perburuannya bukan sekedar karena faktor ekonomi atau untuk mendapatkan daging rusa. Sifu menyebutkan perburuan pada masa itu sudah menjadi dendam pribadi antara masyarakat dengan TNRAW.
Peristiwa tersebut dimulai ketika masyarakat menyerobot masuk ke dalam kawasan TNRAW dan membuat rumah di sekitar savannah sekitar tahun 1998. Jelas saja hal itu dilarang oleh TNRAW, tapi sama sekali tidak digubris. Tapi demi menjaga batas taman nasional, TNRAW bersama tim gabungan yang terdiri dari TNI dan Polri membongkar perumahan ilegal tersebut secara paksa.
Pembongkaran tersebutlah yang menyulut dendam pribadi masyarakat. Sebagai pelampiasannya, masyarakat yang tergusur mulai melakukan pembantaian terhadap rusa. Mereka juga merusak fasilitas berupa empat unit menara pemantau setinggi 16 meter di savannah. "Nanti turun dari Brimob baru pembantaian itu selesai," ungkapnya.
Pembantaian tersebut membuat rusa jadi cenderung trauma dengan manusia dan suara kendaraan. Akibatnya saat ini sangat jarang ditemui rusa yang merumput ataupun menggaram. Gerombolan rusa yang dulunya meramaikan savannah, kini sudah bergerak menjauh ke arah gunung Watumohai untuk menjauhi aksesibilitas masyarakat.
Satu-satunya patokan TNRAW untuk mengetahui aktifitas rusa adalah dengan mengidentifikasi jejak mereka di sekitar savannah. Pemantauan tersebut terutama dilakukan pada daerah bersubstrat lembek seperti pinggiran sungai atau mangrove. Hasil pemantauannya masih ditemukan rusa yang beraktifitas secara berkelompok. Tapi jumlah kelompoknya sudah jauh berkurang dari biasanya 10 ekor perkelompok, kini hanya sekitar tiga sampai empat ekor perkelompok.
Jejak yang ditinggal rusa sering kali bercampur dengan jejak hewan lainnya. Tapi Sifu dan rekan-rekannya mampu membedakan jejak rusa dengan mudah. "Kalau jejak jonga mirip jejak babi hutan, tapi jejak jonga ujungnya lebih runcing, kalau babi hutan agak membulat diujungnya. Kalau jejak anoa itu mirip jejak sapi, mirip huruf "D", tapi lebih kecil dari kaki sapi," katanya.
Pengenalan terhadap segala sesuatu yang berhubungan dengan rusa memang diperlukan Sifu dan rekannya untuk mengontrol keberadaan rusa. Tapi keahlian tersebut kerap kali juga membantu mereka untuk mengidentifikasi perburuan illegal terhadap rusa. Pasalnya dengan areal savannah seluas 22.964 hektar, tidak akan mampu dipantau secara intensif tiap hari dari perburuan. Sehingga mereka menjaga dengan ketat setiap kendaraan yang melewati gerbang TNRAW.
Ia menceritakan pernah menggagalkan penyelundupan daging rusa yang dicampur dengan daging sapi. "Kita sudah tahu bagaimana itu dagingnya jonga. Biar dicampur dengan daging apa saja, kalau kita sudah cium baunya atau lihat bentuknya, kita sudah bisa pestikan itu daging jonga," jelasnya.
Bahkan mereka juga pernah menggagalkan penyelundupan daging rusa yang dimasukkan ke dalam lemari. "Kita cium bau daging jonga, jadi kita suruh bongkar lemarinya, dan betul ada daging jonga di dalamnya," imbuh Sifu.
Menurunnya populasi rusa di savannah juga bisa dibuktikan dengan semakin tebalnya vegetasi alang-alang. Jika populasi rusa banyak, vegetasi alang-alang kemungkinan besar tidak akan mencapai tinggi lebih dari satu meter seperti saat ini. Pasalnya alang-alang tersebut pasti dimakan oleh rusa. "Itu memang bukti kalau jonga sudah tingal sedikit di kawasan ini," tandas Sifu.
Hal tersebut dibenarkan oleh koordinator pengendali ekosistem hutan TNRAW Dwi Putro Sugiarto. Katanya rusa sangat menyukai alang-alang terutama yang muda. Selain itu rusa juga memakan akar alang-alang. Akar alang-alang kata Sugiarto, memiliki zat yang berfungsi seperti obat untuk rusa. "Jadi di alam bebas, meski tidak diberikan suntikan, tapi rusa sudah memiliki antibodi sendiri dengan memakan akar alang-alang," terangnya.
Kaena populasi rusa yang semakin menurun, saat ini TNRAW mencoba memberikan contoh penangkaran rusa kepada masyarakat. Mereka telah menangkarkan lima ekor rusa dan salah satu betinanya berhasil menghasilkan keturunan. "Ini hanya contoh saja, nanti kita harapkan masyarakat bisa mencontohnya. Nanti kita akan lepaskan kembali ke habitatnya, tapi itu hanya kita lakukan kalau keselamatan rusa itu terjamin," tuntasnya.(*)
Perjalanan menyusuri TNRAW benar-benar melelahkan. Bukan hanya karena lahannya sangat luas, tetapi akses jalan yang mengitari daerah tersebut juga masih memprihatinkan. Dari Kecamatan Andoolo menuju Motaha, tempat ekosistem rawa yang hanya berjarak sekitar 60 kilometer, harus ditempuh sekitar dua setengah jam dengan jalan yang belum diaspal dan penuh lubang.
Mungkin karena itu, La Sifu, salah satu polisi hutan TNRAW, merasa enggan untuk mengantar penulis lagi ke ekosistem rawa. Ya, sedikit mengecewakan karena ekosistem rawa sebenarnya memiliki keragaman spesies yang tinggi dan menarik untuk ditulis. Pasalnya kawasan seluas 12.600 hektar tersebut merupakan habitat aves (burung) yang diperkirakan sebanyak 218 jenis, pisces (ikan) sebanyak 28 jenis dan beberapa hewan lainnya.
Salah satu spesies yang menarik untuk diperhatikan lebih jauh di rawa Aopa adalah burung Wilwo, salah satu jenis burung bangau yang selalu melakukan migrasi. Wilwo temasuk bangau yang langka ditemukan karena sifat migrasinya.
Entah mungkin karena merasa bersalah atau ada alasan lain, La Sifu yang tadinya hanya berdiri disamping motor trailnya, lalu mengajak untuk melihat dari dekat ekosistem mangrove. Katanya di daerah tersebut juga menyajikan beragam spesies dan kehidupan yang cukup kompleks. Beragam aves, pisces dan reptilia seperti buaya dan biawak menjadi penghuni areal tersebut. Sifu juga mengatakan banyak tegakan mangrove yang ukuran diameternya sampai lebih dari satu meter.
Kompleksitas ekosistem mangrove bahkan bisa dibilang melebihi tiga ekosistem lainnya di TNRAW. Penyebabnya, ekosistem seluas 6.173 hektar tersebut bukan hanya dihuni hewan yang harus menyesuaikan diri dengan air payau, tetapi juga dihuni warga. Mereka menggantungkan harapan hidupnya dengan menjadi nelayan di sekitar ekosistem mangrove.
Sebenarnya kebijakan TNRAW tidak membolehkan ada pemukiman warga di dalam kawasan. Karena itu para warga yang mendiami daerah mangrove sempat dikeluarkan dan dilarang untuk tinggal. Tapi kebijakan tersebut ternyata memiliki resiko tersendiri. Setelah pengosongan areal mangrove dari warga, pihak TNRAW menemukan banyak pohon bakau yang ditebang. Dengan jumlah personel dan peralatan yang terbatas, TNRAW kesulitan menangkap para pelaku illegal logging tersebut.
Memang tidak semua aliran sungai di ekositem mangrove ditinggali masyarakat. Dari sembilan sungai, hanya sungai mandu mandula saja yang ditinggali warga. Kemungkinan itu karean sungai mandu mandula lebih besar dibanding sungai lainnya dan memiliki kekayaan spesies yang tinggi.
Untuk mengendalikan penebangan bakau, TNRAW lalu mengizinkan kembali warga yang sempat mendiami daerah tersebut untuk tinggal. Tapi para warga tesebut diberikan tugas tambahan, tidak hanya dilarang merusak ekosistem mangove, tetapi mereka juga dijadikan "intelijen" TNRAW untuk melaporkan tiap tindakan penebangan ilegal mangrove. "Saat ini sekitar 47 kepala keluarga yang mendiami daerah sungai mandu mandula," ujar Sifu.
Penebangan bakau memang menjadi salah satu kegiatan ilegal yang sering terjadi di ekosistem mangrove. Tapi La Sifu tidak tahu pasti sudah berapa banyak perambah ilegal yang mereka amankan. "Saya hanya ingat pernah kita tangkap basah penebang mangrove," imbuhnya.
Meski begitu, sebenarnya bukan hanya penebangan ilegal yang menjadi momok karena Sifu menyebutkan buaya muara yang mendiami ekosistem mangrove juga sudah menjadi incaran para pemburu. Untuk yang satu ini, TNRAW juga belum memiliki data pasti berapa banyak jumlah buaya karena belum melakukan sensus. Namun dari pengamatan Sifu, jumlah buaya sudah mencapai puluhan.
Sayangnya sore itu, penulis tidak bisa melihat langsung buaya tersebut. Sifu menyarankan, untuk melihat buaya sebaiknya dilakukan pada malam hari. Memang berisiko, tapi hanya itulah cara yang ia ketahui paling efektif untuk melihat buaya. Saat malam, buaya akan memunculkan sebagian moncongnya dari dalam air sehingga ketika terkena cahaya senter, matanya akan terlihat seperti menyala. "Kalau mau melakukan survey, kita juga lakukan malam karena gampang menghitungnya tinggal hitung matanya saja," jelas pria paruh baya ini.
Sifu mengatakan buaya muara merupakan salah satu jenis buaya yang bisa tumbuh lebih besar dibandingkan buaya jenis lain. Dalam kondisi terancam, hewan karnivora ini bisa menyerang pengancamnya dengan brutal. Meski demikian, Sifu mengatakan belum ada laporan mengenai warga yang diserang buaya. Menurutnya jika keseimbangan ekosistem bisa dipelihara maka buaya tidak akan menyerang manusia. "Di sini kan banyak makanan, apalagi warga juga tidak pernah menggangu buaya, jadi tidak ada masalah," ungkapnya. Makanan buaya yang dimaksud Sifu adalah ikan dan hewan-hewan liar lainnya seperti jonga yang sedang menggaram.
Masyarakat yang seluruhnya berprofesi nelayan juga merasa nyaman untuk tinggal di ekosistem mangrove karena jumlah ikan melimpah. Salah satu jenis yang menjadi target penangkapan para mereka adalah kepiting bakau. Dengan menggunakan alat tangkap sederhana yang biasa mereka sebut rakkang, nelayan bisa menangkap kepiting sampai 15 kg perhari. Selain untuk konsumsi, mereka juga menjual kepiting tersebut. Lumayan, setiap kilogram kepiting tersebut mereka jual seharga Rp 20 ribu. "Biasa kita dapat yang dua kilo satu kali naik (satu ekor). Kalau itu harganya kita jual di Kendari sampai seratus ribu," ujar Udin, salah satu nelayan yang tinggal di ekosistem mangrove.
Data dari TNRAW menyebutkan disekitar luar kawasan TNRAW, sebagian besar mata pencaharian masyarakat adalah bertani, buruh tani dan peternak. Masyarakat nelayan umumnya tinggal di bagian selatan kawasan. Desa-desa di sekitar kawasan TNRAW tercatat setidaknya ada 96 desa dengan jumlah penduduk 90.916 jiwa.(*)
Eko Mardiatmo, Kendari |
Tidak ada komentar:
Posting Komentar